MAKALAH
PERKEMBANGAN NILAI, MORAL, SIKAP DAN KEAGAMAAN REMAJA
PERKEMBANGAN NILAI, MORAL, SIKAP DAN KEAGAMAAN REMAJA
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Terstruktur Pada Mata Kuliah
Perkembangan Peserta Didik
Dosen :
Dra. Yuyun Yulianingsih, M.P.d.
Disusun Oleh :
Hazmi Fauzi (1142080031)
Semester 2 A
PRODI PENDIDIKAN KIMIA
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
2015
A. Definisi Nilai, Moral, dan Sikap
Nilai sosial adalah
nilai yang dianut oleh suatu masyarakat, mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap
buruk oleh masyarakat. Untuk menentukan sesuatu itu dikatakan baik atau buruk,
pantas atau tidak pantas harus melalui proses menimbang. Hal ini tentu sangat
dipengaruhi oleh kebudayaan yang dianut masyarakat. Tak heran apabila antara masyarakat yang satu dan
masyarakat yang lain terdapat perbedaan tata nilai.
Moral merupakan
kondisi pikiran, perasaan, ucapan, dan perilaku manusia yang terkait dengan
nilai-nilai baik dan buruk. Apabila yang dilakukan seseorang itu sesuai
dengan nilai rasa yang berlaku di masyarakat dan dapat diterima serta
menyenangkan lingkungan masyarakatnya, maka orang itu dinilai memiliki moral
yang baik, begitu juga sebaliknya. Sehingga moral adalah hal mutlak yang harus
dimiliki oleh manusia. Manusia yang tidak memiliki moral disebut amoral artinya
dia tidak bermoral dan tidak memiliki nilai positif di mata manusia lainnya.
Sikap merupakan
proses sosialisasi dimana seseorang akan bereaksi sesuai dengan rangsang yang
diterimanya”. (Mar’at,1981:9). Maksudnya, sesorang akan bereaksi apabila
rangsangan yang diberikan oleh seorang komunikator dapat diterima oleh
komunikan yang diakibatkan dari adanya hidup bermasyarakat.
Stephen R. Covey mengemukakan tiga teori determinisme yang
diterima secara luas, baik sendiri-sendiri maupun kombinasi, untuk menjelaskan sikap
manusia, yaitu:
1.
Determinisme genetis (genetic determinism): berpandangan
bahwa sikap individu diturunkan oleh sikap kakek-neneknya. Itulah sebabnya,
seseorang memiliki sikap dan tabiat seperti sikap dan tabiat nenek moyangnya.
2.
Determinisme psikis (psychic determinism):
berpandangan bahwa sikap individu merupakan hasil pelakuan, pola asuh, atau
pendidikan orang tua yang diberikan kepada anaknya.
3.
Determinism lingkungan (environmental determinism):
berpandangan bahwa perkembangan sikap seseorang sangat dipengaruhi oleh
lingkungan individu itu tinggal dan bagaimana lingkungan memperlakukan individu
tersebut.
B. Karakteristik Nilai, Moral, dan Sikap Remaja.
Salah satu karakteristik remaja yang sangat menonjol yang
berkaitan dengan nilai adalah bahwa remaja sudah sangat merasakan akan
pentingnya tata nilai dan mengembangkan nilai-nilai baru yang sangat diperlukan
sebagai pedoman,pegangan,atau petunjuk dalam mencari jalannya sendiri untuk
menumbuhkan identitas diri menuju kepribadian yang semakin
matang(Sarwono,1989). Pembentukan nilai-nilai baru ini dilakukan dengan cara
identifikasi dan imitasi terhadap tokoh atau model tertentu atau bisa saja
berusaha mengembangkannya sendiri.
Karakteristik yang menonjol dalam perkembangan moral remaja
adalah bahwa sesuai dengan tingkat perkembangan kognisi yang mulai mencapai
tahapan berfikir operasional formal,yakni mulai mampu berfikir abstrak dan
mulai mampu memecahkan masalah-masalah yang bersifat hipotetis,maka pemikiran remaja
terhadap suatu permasalahan tidak lagi hanya terikat pada waktu,tempat,dan
situasi, tetapi juga pada sumber moral yang menjadi dasar hidup
mereka(Gunarsa,1988). Perkembangan pemikiran moral remaja dicirikan dengan
mulai tumbuh kesadaran akan kewajiban mempertahankan kekuasaan dan pranata yang
ada karena dianggapnya sebagai suatu yang bernilai walau belum mampu
mempertanggungjawabkannya secara pribadi(Monks,1989). Perkembangan pemikiran
moral remaja yang demikian ini,jika meminjam teori perkembangan moral dari
Kohlberg berarti sudah mencapai tahap konvensional. Pada akhir masa remaja akan
memasuki tahap perkembangan pemikiran moral berikutnya yang disebut dengan
tahap pasca konvensional/dimana orisinalitas pemikiran moral remaja sudah
semakin tampak jelas. Pemikiran moral remaja berkembang sebagai pendirian
pribadi yang tidak tergantung lagi pada pendapat atau pranata-pranata yang
bersifat konvensional.
Perubahan sikap yang cukup menyolok dan ditempatkan sebagai
salah satu karakter remaja adalah sikap menantang nilai-nilai dasar hidup orang
tua dan orang dewasa lainnya(Gunarsa 1988),apalagi kalau orang tua atau orang
dewasa lainnya berusaha memaksakan nilai-nilai yang dianutnya kepada remaja.
Sikap menentang melawan pranata adat kebiasaan yang ditunjukkan oleh para
remaja ini merupakan gejala wajar yang terjadisebagai unjuk kemampuan berpikir
kritis terhadap segala sesuatau yang dihadapi dalam realitas. Gejala dikap
menentang pada remaja itu hanya bersifat sementara dan akan berubah serta
berkembang kearah moralitas yang lebih matang dan mandiri.
Lima perubahan dasar dalam moral yang harus dilakukan oleh
remaja menurut michael yaitu:
1.
Pandangan moral individu makin lama makin menjadi lebih
abstrae.
2.
Keyakinan moral lebih berpusat pada apa yang benar dan
kurang pada apa yang salah. Keadilan muncul sebagai kekuatan moral yang
dominan.
3.
Penilaian moral menjadi semakin kognitif.
4.
Penilaian moral menjadi kurang egoistic.
5.
Penilaian moral secara psikologis menjadi lebih
mahal.
C. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Nilai,
Moral, dan Sikap Remaja
Faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap perkembangan
nilai, moral, dan sikap individu mencakup aspek psikologis, sosial, budaya, dan
fisik kebendaan baik yang terdapat dalam lingkungan keluarga, sekolah, maupun
masyarakat :
1.
Lingkungan Keluarga
Keluarga merupakan lingkungan yang terdekat untuk
membesarkan, mendewasakan dan didalamnya anak mendapatkan pendidikan yang
pertama kali. Keluarga merupakan kelompok masyarakat terkecil, akan
tetapi merupakan lingkungan paling kuat dalam membesarkan anak yang belum
sekolah. keinginan dan harapan orang tua yang cukup kuat agar anaknya
tumbuh dan berkembang menjadi individu yang memilikidan menjunjung tinggi
nilainilai luhur, mampu membedakan yang baik dan yang buruk, yang benar dan
yang salah, yang boleh dan tidak boleh dilakukan, serta memiliki sikap dan
prilaku yang terpuji sesuai dengan harapan orang tua.
2.
Lingkungan Pendidikan (Sekolah)
Lingkungan pendidikan setelah keluarga, adalah lingkungan
sekolah. Sekolah sebagai lembaga formal yang di serahi tugas untuk
menyelenggarakan pendidikan tentunya tidak kecil perananya dalam membantu
perkembangan hubungan sosial remaja.
Dalam konteks ini, guru juga harus mampu
mengembangkan proses pendidikan yang bersifat demokratis. Jika guru tetap
berpendirian bahwa dirinya sebagai tokoh intelektual dan tokoh otoritas yang
memegang kekuasaan penuh,
Perkembangan hubungan sosial remaja akan terganggu. Untuk
itu guru harus mampu mengembangkan perannya selain sebagai guru juga sebagai
pemimpin yang demokratis. Artinya, selain menyampaikan pelajaran sebagai upaya
mentrasfer pengetahuan kepada peserta didik, juga harus membina peserta didik menjadi
manusia dewasa yang bertanggung jawab.
3.
Lingkungan Sosial
Faktor sosial mencakup semua pengaruh sosial dalam
perkembangan sikap keberagamaan, yaitu: pendidikan orang tua, tradisi – tradisi
sosial dan tekanan – tekanan lingkungan sosial untuk menyesuaikan diri
dengan berbagai pendapat dan sikap yang disepakati oleh lingkungan.
D. Implikasi
Pengembangan Nilai, Moral dan Sikap Remaja
Pendidikan tersebut dapat dilakukan di rumah tangga,
sekolah, dan masyarakat.
1.
Pendidikan moral dalam rumah tangga
Pertama-tama yang harus diperhatikan adalah penyelamatan
hubungan ibu-bapak, sehingga pergaulan dan kehidupan mereka dapat menjadi
contoh bagi anak-anaknya.
Pendidikan moral yang paling baik, terdapat dalam agama,
karena nilai moral yang dapat dipatuhi dengan sukarela, tanpa ada paksaan dari
luar, hanya dari kesadaran sendiri, datangya dari keyakinan sendiri.
Orang tua harus memperhatikan pendidikan moral serta
tingkah laku anak-anaknya.Pendidikan dan perlakuan orang tua terhadap anaknya
hendaknya menjamin segala kebutuhannya, baik fisik ataupun psikis ataupun
sosial.
2.
Pendidikan moral dalam sekolah
Hendaknya dapat diusahakan supaya sekolah menjadi lapangan
yang baik bagi penumbuhan dan pengembangan mental dan moral anak didik.
Pendidikan agama, haruslah dilakukan secara intensif
Hendaknya segala sesuatu yang berhubungan dengan pendidikan dan pengajaran
(baik guru, pegawai , buku, peraturan dan alat-alat) dapat membawa anak didik
kepada pembinaan mental yang sehat.
3.
Pendidikan moral dalam masyarakat
Sebelum menghadapai pendidikan anak, maka masyarakat yang
telah rusak moralnya diperbaiki terlebih dahulu.Mengusahakan supaya masyarakat,
termasuk pemimpin dan penguasanya menyadari betapa pentingnya masalah
pendidikan moral anak.Supaya segala mas media , terutama siaan radio dan TV.,
memperhatikan setiap macam uraian, petunjukan, kesenian dan ungkapa tidak boleh
bertentangan dengan agama.
E. Agama Dan Budaya
Secara sederhana, kebudayaan
merupakan hasil cipta (serta akal budi) manusia untuk memperbaiki, mempermudah,
serta meningkatkan kualitas hidup dan kehidupannya. Atau, kebudayaan adalah keseluruhan
kemampuan (pikiran, kata, dan tindakan) manusia yang digunakan untuk memahami
serta berinteraksi dengan lingkungan dan sesuai sikonnya. Kebudayaan
berkembang sesuai atau karena adanya adaptasi dengan lingkungan hidup dan
kehidupan serta sikon manusia berada.
Kebudayaan dikenal karena
adanya hasil-hasil atau unsur-unsurnya. Unsur-unsur kebudayaan terus menerus
bertambah seiring dengan perkembangan hidup dan kehidupan. Manusia
mengembangkan kebudayaan; kebudayaan berkembang karena manusia. Manusia disebut
makhluk yang berbudaya, jika ia mampu hidup dalam atau sesuai budayanya.
Sebagian makhluk berbudaya, bukan saja bermakna mempertahankan nilai-nilai
budaya masa lalu atau warisan nenek moyangnya; melainkan termasuk mengembangkan
(hasil-hasil) kebudayaan.
Di samping kerangka besar
kebudayaan, manusia pada komunitasnya, dalam interaksinya mempunyai norma,
nilai, serta kebiasaan turun temurun yang disebut tradisi. Tradisi biasanya
dipertahankan apa adanya; namun kadangkala mengalami sedikit modifikasi akibat
pengaruh luar ke dalam komunitas yang menjalankan tradisi tersebut. Misalnya
pengaruh agama-agama ke dalam komunitas budaya (dan tradisi) tertentu, banyak
unsur-unsur kebudayaan (misalnya puisi-puisi, bahasa, nyanyian, tarian, seni
lukis dan ukir) di isi formula keagamaan sehingga menghasilkan paduan atau
sinkretis antara agama dan kebudayaan.
Kebudayaan dan berbudaya,
sesuai dengan pengertiannya tidak pernah berubah; yang mengalami perubahan dan
perkembangan adalah hasil-hasil atau unsur-unsur kebudayaan. Namun ada
kecenderungan dalam masyarakat yang memahami bahwa hasil-hasil dan unsur-unsur
budaya dapat berdampak pada perubahan kebudayaan.
Kecenderungan tersebut
menghasilkan dikotomi hubungan antara iman-agama dan kebudayaan. Dikotomi
tersebut memunculkan konfrontasi
(bukan hubungan saling mengisi dan membangun) antara agama dan praktek
budaya, karena dianggap sarat dengan spiritisme, dinamisme, animisme, dan
totemnisme. Akibatnya, ada beberapa sikap hubungan antara Agama dan Kebudayaan,
yaitu:
- Sikap Radikal: Agama menentang Kebudayaan. Ini merupakan sikap radikal dan ekslusif, menekankan pertantangan antara Agama dan Kebudayaan. Menurut pandangan ini, semua sikon masyarakat berlawanan dengan keinginan dan kehendak Agama. Oleh sebab itu, manusia harus memilih Agama atau/dan Kebudayaan, karena seseorang tidak dapat mengabdi kepada dua tuan. Dengan demikian, semua praktek dalam unsur-unsur kebudayaan harus ditolak ketika menjadi umat beragama.
- Sikap Akomodasi: Agama Milik Kebudayaan. Sikap ini menunjukkan keselarasan antara Agama dan kebudayaan.
- Sikap Perpaduan: Agama di atas Kebudayaan. Sikap ini menunjukkan adanya suatu keterikatan antara Agama dan kebudayaan. Hidup dan kehidupan manusia harus terarah pada tujuan ilahi dan insani, manusia harus mempunyai dua tujuan sekaligus.
- Sikap Pambaharuan: Agama Memperbaharui Kebudayaan. Sikap ini menunjukkan bahwa Agama harus memperbaharui masyarakat dan segala sesuatu yang bertalian di dalamnya. Hal itu bukan bermakna memperbaiki dan membuat pengertian kebudayaan yang baru; melainkan memperbaharui hasil kebudayaan. Oleh sebab itu, jika umat beragama mau mempraktekkan unsur-unsur budaya, maka perlu memperbaikinya agar tidak bertantangan dengan ajaran-ajaran Agama. Karena perkembangan dan kemajuan masyarakat, maka setiap saat muncul hasil-hasil kebudayaan yang baru. Oleh sebab itu, upaya pembaharuan kebudayaan harus terus menerus. Dalam arti, jika masyarakat lokal mendapat pengaruh hasil kebudayaan dari luar komunitas sosio-kulturalnya, maka mereka wajib melakukan pembaharuan agar dapat diterima, cocok, dan tepat ketika mengfungsikan atau menggunakannya.
Karena
adanya aneka ragam bentuk hubungan Agama dan Kebudayaan tersebut, maka solusi
terbaik adalah perlu pertimbangan – pengambilan keputusan etis-teologis (sesuai
ajaran agama). Dan untuk mencapai hal tersebut tidak mudah.
Referensi
:
Ali, Mohammad dan Asrori, Muhammad. 2006. Psikologi Remaja. Jakarta:
PT Bumi Aksara.
Hurlock, Elizabeth B. 1980. Psikologi Perkembangan. Jakarta:
Erlangga.
Dino, Muhiddin. 2013. Hubungan
Budaya dan Agama. 28 April 2015. http://dino muhidin83.blogspot.com/2013/01/tugas-soft-skill-ibd-hubungan-budaya.html
Hamsir.
2013. Makalah Perkembangan Nilai Moral. 28 April 2015.
http://hamsir-amunk.blog spot.com/2013/03/makalah-perkembangan-nilai-moral-dan.html
Comments
Post a Comment