MAKALAH
PERKEMBANGAN MORAL DAN KEAGAMAAN ANAK – I
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Terstruktur Pada Mata Kuliah
Perkembangan Peserta Didik
Dosen :
Dra. Yuyun Yulianingsih, M.P.d.
Disusun Oleh :
Hazmi Fauzi (1142080031)
Semester 2 A
PRODI PENDIDIKAN KIMIA
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
2015
A. Pengertian Nilai, Moral Dan Sikap
1.
Pengertian Nilai
Dalam kamus bahasa Indonesia,
nilai adalah harga, angka kepandaian. Adapun menurut Spranger, nilai diartikan sebagai
suatu tatanan yang dijadikan panduan oleh individu untuk menimbang dan memilih
alternatif keputusan dalam situasi sosial tertentu.
Dalam perspektif Spranger,
kepribadian manusia terbentuk dan berakar pada tatanan nilai-nilai dan
kesejahteraan. Meskipun menempatkan konteks sosial sebagai dimensi nilai dalam
kepribadian manusia, tetapi spranger tetap mengakui kekuatan individual yang
dikenal dengan istilah “ roh subjektif” (subjective spirit) dan
kekuatan nilai-nilai budaya merupakan “roh objektif” (objevtive spirit).
Roh objektif akan berkembang manakala didukung oleh roh subjektif, sebaliknya
roh subjektif terbentuk dan berkembang dengan berpedoman kepada roh objektif
yang diposisikan sebagai cita-cita yang harus dicapai.
Menurut Harrocks, Nilai merupakan
sesuatu yang memungkinkan individu atau kelompok sosial membuat keputusan
mengenai apa yang dibutuhkan atau sebagai suatu yang ingin dicapai.
Dalam buku psikologi
perkembangan peserta didik oleh Prof. Sinolungan mengatakan nilai adalah
suatu yang diyakini kebenarannya, dipercayai dan dirasakan kegunaannya, serta
diwujudkan dalam sikap atau perilakunya. Jadi, nilai bersifat normatif, suatu
keharusan yang menuntut diwujudkan dalam tingkah laku, misalnya nilai kesopanan
dan kesederhanaan. Misalnya, seseorang yang selalu bersikap sopan santun akan
selalu berusaha menjaga tutur kata dan sikap sehingga dapat membedakan tindakan
yang baik dan yang buruk. Dengan kata lain, nilai-nilai perlu dikenal terlebih
dahulu, kemudian dihayati dan didorong oleh moral, baru kemudian akan terbentuk
sikap tertentu terhadap nilai-nilai tersebut.
Secara dinamis, nilai
dipelajari dari produk sosial dan secara perlahan diinternalisasikan oleh
individu serta diterima sebagai milik bersama dengan kelompoknya. Nilai
merupakan standar konseptual yang relatif stabil dan emplisit membimbing
individu dalam menentukan tujuan yang ingin dicapai serta aktivitas dalam
rangka memenuhi kebutuhan psikologisnya.
2.
Pengertian Moral
Ada beberapa pengertian moral. Moral
merupakan pengetahuan yang menyangkut budi pekerti manusia yang beradab. Moral
juga berarti ajaran yang baik dan buruk perbuatan dan kelakuan (akhlak).
Moralisasi, berarti uraian (pandangan, ajaran) tentang perbuatan dan kelakuan
yang baik. Demoralisasi, berarti kerusakan moral.
Menurut asal katanya “moral” dari kata mores dari bahasa
Latin, kemudian diterjemahkan menjadi “aturan kesusilaan”. Dalam bahasa
sehari-hari, yang dimaksud dengan kesusilaan bukan mores, tetapi
petunjuk-petunjuk untuk kehidupan sopan santun dan tidak cabul. Jadi, moral
adalah aturan kesusilaan, yang meliputi semua norma kelakuan, perbuatan tingkah
laku yang baik. Kata susila berasal dari bahasa Sansekerta, su artinya “lebih
baik”, sila berarti “dasar-dasar”, prinsip-prinsip atau peraturan-peraturan
hidup. Jadi susila berarti peraturan-peraturan hidup yang lebih baik.
Moral secara ekplisit adalah hal-hal yang berhubungan
dengan proses sosialisasi individu tanpa moral manusia tidak bisa melakukan
proses sosialisasi. Moral dalam zaman sekarang mempunyai nilai implisit karena
banyak orang yang mempunyai moral atau sikap amoral itu dari sudut pandang yang
sempit. Moral itu sifat dasar yang diajarkan di sekolah-sekolah dan manusia
harus mempunyai moral jika ia ingin dihormati oleh sesamanya. Moral adalah
nilai ke-absolutan dalam kehidupan bermasyarakat secara utuh. Penilaian
terhadap moral diukur dari kebudayaan masyarakat setempat.
Moral merupakan perbuatan/tingkah laku/ucapan
seseorang dalam berinteraksi dengan manusia. apabila yang dilakukan seseorang
itu sesuai dengan nilai rasa yang berlaku di masyarakat tersebut dan dapat
diterima serta menyenangkan lingkungan masyarakatnya, maka orang itu dinilai
mempunyai moral yang baik, begitu juga sebaliknya. Moral adalah produk dari
budaya dan Agama. Moral juga dapat diartikan sebagai sikap, perilaku, tindakan,
kelakuan yang dilakukan seseorang pada saat mencoba melakukan sesuatu
berdasarkan pengalaman, tafsiran, suara hati, serta nasihat, dll.
Pengertian moral menurut para ahli:
- W. J. S. Poerdarminta menyatakan bahwa moral merupakan ajaran tentang baik buruknya perbuatan dan kelakuan.
- Dewey mengatakan bahwa moral sebagai hal-hal yang berhubungan dengan nilai-nilai susila.
- Baron dkk. Mengatakan bahwa moral adalah hal-hal yang berhubungan dengan larangan dan tindakan yang membicarakan salah atau benar.
- Magnis-Susino mengatakan bahwa moral selalu mengacu pada pada baik buruknya manusia sebagai manusia, sehingga bidang moral adalah bidang kehidupan manusia dilihat dari segi kebaikannya sebagai manusia.
Nilai moral dipengaruhi oleh tiga hal, yaitu ajaran agama,
adat istiadat dan ideologi.
·
Nilai moral bersumber agama
Kepatutan yang bersumber pada agama, sehingga hal ini
tergantung dari ajaran masing-masing agama contohnya adalah mencuri, berdusta,
ingkar janji, menfitnah, tindakan asusila dan lain-lain.
·
Nilai moral bersumber adat istiadat
Kepatutan yang bersumber adat istiadat, contohnya adalah
tidak duduk diatas orang yang lebih tua.
·
Nilai moral bersumber dari ideologi
Kepatutan yang bersumber dari ideologi atau paham seseorang,
misalnya seseorang bersihkukuh agar tidak merokok selama hidupnya.
3.
Pengertian Sikap
Fishbein (1975) mendefenisikan
sikap adalah predisposisi emosional yang dipelajari untuk merespon secara
konsisten terhadap suatu objek. Sikap merupakan variabel laten yang mendasari,
mengarahkan dan mempengaruhi perilaku. Sikap tidak identik dengan respons dalam
bentuk perilaku, tidak dapat diamati secara langsung tetapi dapat disimpulkan
dari konsistensi perilaku yang dapat diamati. Secara operasional, sikap dapat
diekspresikan dalam bentuk kata-kata atau tindakan yang merupakan respons
reaksi dari sikapnya terhadap objek, baik berupa orang, peristiwa, atau
situasi.
Menurut Chaplin (1981) dalam Dictionary
of Psychology menyamakan sikap dengan pendirian. Chaptin menegaskan bahwa
sumber dari sikap tersebut bersifat kultural, familiar, dan personal. Artinya,
kita cenderung beranggapan bahwa sikap-sikap itu akan berlaku dalam suatu
kebudayaan tertentu, selaku tempat individu dibesarkan. Jadi, ada semacam sikap
kolektif (collective attitude) yang menjadi stereotipe sikap kelompok
budaya masyarakat tertentu. Sebagian besar dari sikap itu berlangsung dari
generasi ke generasi di dalam struktur keluarga. Akan tetapi, beberapa darin
tingkah laku individu juga berkembang selaku orang dewasa berdasarkan
pengalaman individu itu sendiri. Para ahli psikologi sosial bahkan percaya
bahwa sumber-sumber penting dari sikap individu adalah propaganda dan sugesti
dari penguasa-penguasa, lembaga pendidikan, dan lembaga-lembaga lainnya yang
secara sengaja diprogram untuk mempengaruhi sikap dan perilaku individu.
Stephen R. Covey mengemukakan
tiga teori determinisme yang diterima secara luas, baik sendiri-sendiri maupun
kombinasi, untuk menjelaskan sikap manusia, yaitu:
- Determinisme genetis (genetic determinism): berpandangan bahwa sikap individu diturunkan oleh sikap kakek-neneknya. Itulah sebabnya, seseorang memiliki sikap dan tabiat seperti sikap dan tabiat nenek moyangnya.
- Determinisme psikis (psychic determinism): berpandangan bahwa sikap individu merupakan hasil pelakuan, pola asuh, atau pendidikan orang tua yang diberikan kepada anaknya.
- Determinism lingkungan (environmental determinism): berpandangan bahwa perkembangan sikap seseorang sangat dipengaruhi oleh lingkungan individu itu tinggal dan bagaimana lingkungan memperlakukan individu tersebut. Bagaimana atasan/pimpinan memperlakukan kita, bagaimana pasangankita memperlakukan kita, situasi ekonomi, atau kebijakan-kebijakan pemerintah, semuanya membentuk perkembangan sikap individu.
Sikap merupakan salah satu
aspek psikologi individu yang sangat penting karena sikap merupakan
kecenderungan untuk berperilaku sehingga akan banyak mewarnai perilaku
seseorang. Sikap setiap orang berbeda atau bervariasi, baik kualitas maupun
jenisnya sehingga perilaku individu menjadi bervariasi. Pentingnya aspek sikap
dalam kehidupan individu, mendorong para psikolog untuk mengembangkan teknik
dan instrumen untuk mengukur sikap manusia. Beberapa tipe skala sikap telah
dikembangkan untuk mengukur sikap individu, kelompok, maupun massa untuk
mengukur pendapat umum sebagai dasar penafsiran dan penilaian sikap.
Dari beberapa teknik atau skala
sikap yang dapat digunakan, ada dua skala sikap yang utama dan dikenal sangat
luas, yaitu:
1.
Skala Likert
Dalam skala ini disajikan satu seri pertanyaan-pertanyaan sederhana. Kemudian
responden diukur sikapnya untuk menjawab dengan cara memilih salah satu pilihan
jawaban yang telah disediakan. Yaitu:
- Sangat setuju
- Setuju
- Ragu-ragu/netral
- Tidak setuju, dan
- Sangat tidak setuju.
- Skala Thurstone
Dalam skala ini terdapat
sejumlah pernyataan derajat-derajat kekuatan yang berbeda-beda dan
responden/subjek yang bersangkutan dapat menyatakan persetujuan atau penolakan
terhadap pernyataan-pernyataan tersebut. Butir-butir pernyataannya dipilih
sedemikian rupa sehingga tersusun sepanjang satu skala interval-sama, dari yang
sangat menyenangi sampai yang sangat tidak menyenangkan.
B. Pengertian Agama, Pendidikan Agama dan
Pendidikan Keagamaan
1. Pengertian Agama
Para pakar memiliki beragama
pengertian tentang agama. Secara etimologi, kata “agama” bukan berasal dari
bahasa Arab, melainkan diambil dari istilah bahasa Sansekerta yang menunjuk
pada sistem kepercayaan dalam Hinduisme dan Budhisme di India. Agama terdiri
dari kata “a” yang berarti “tidak”, dan “gama” berarti kacau. Dengan demikian,
agama adalah sejenis peraturan yang menghindarkan manusia dari kekacauan, serta
mengantarkan menusia menuju keteraturan dan ketertiban.
Ada pula yang menyatakan
bahwa agama terangkai dari dua kata, yaitu a yang berarti “tidak”, dan gam
yang berarti “pergi”, tetap di tempat, kekal-eternal, terwariskan secara
turun temurun. Pemaknaan seperti itu memang tidak salah karena dala agama
terkandung nilai-nilai universal yang abadi, tetap, dan berlaku sepanjang masa.
Sementara akhiran a hanya memberi sifat tentang kekekalan dankarena itu
merupakan bentuk keadaan yang kekal.
Ada juga yang menyatakan
bahwa agama terdiri dari tiga suku kata, yaitu: a-ga-ma. A berarti
awang-awang , kosong atau hampa. Ga berarti tempat yang dalam bahasa
Bali disebut genah. Sementara ma berarti matahari, terang
atau sinar. Dari situ lalu diambil satu pengertian bahwa agama adalah pelajaran
yang menguraikan teta cara yang semuanya penuh misteri kareana Tuhan dianggap
bersifat rahasia.
Kata tersebut juga kerap
berawalan i dan atau u, dengan demikian masing-masing
berbunyi igama dan ugama. Sebagian ahli menyatakan bahwa agama-igama-ugama
adalah koda kata yang telah lama dipraktikkan masyarakat Bali. Orang Bali
memaknai agama sebagai peraturan, tata cara, upacara hubungan
manusia denga raja. Sedangkan igama adalah tata cara yang mengatur
hubungan manusia denga dewa-dewa. Sementara ugama dipahami sebagai tata
cara yang mengatur hubungan antamanusia.
Dalam bahasa Belanda, Jerman,
dan Inggris, ada kata yang mirip sekaligus memilliki kesamaan makna dengan kata
“gam”. Yaitu ga atau gaa dalam bahasa Belanda; gein
dalam bahasa Jerman, dan go dalam bahasa Inggris. Kesemuanya memiliki
makna yang sama atau mirip, yaiut pegi. Setelah mendapatkan awalan dan akhiran a,
ia mengalami perubahan makna. Dari bermakna pergi berubah
menjadi jalan. Kemiripan seperti ini mudah dimaklumi karena bahasa Sansekerta,
Belanda, Jerman, dan Inggris, kesemuanya termasuk rumpun bahasa Indo-Jerman.
Selain itu, dikenal pula
istilah religion bahasa Inggris, religio atau religi dalam
bahasa Latin, al-din dalam bahasa Arab, dan dien dalam bahasa
Semit. Kata-kata itu ditengarai memiliki kemiripan makna dengan kata “agama”
yang berasal dari bahasa Sansekerta itu. Religious (Inggris) berarti
kesalehan, ketakwaan, atau sesuatu yang sangat mendalam dan berlebih-lebihan.
Yang lain menyatakan bahwa religion adalah: (1) keyakinan pada Tuhan
atau kekuatan supramanusia untuk disembah sebagai pencipta dean penguasa alam
semesta; (2) sistem kepercayaan dan peribadatan tertentu.
Menurut Olaf Scuhman, baik religion
maupun religio, keduanya berasala dari akar kata yang sama, yaitu religare
yang berarti “mengikat kembal”, atau dari kata relegere
yang berarti “menjauhkan, menolak, melalui”. Arti yang kedua, relegere dipegang
oleh pujangga ada filosof Romawi Cicero dan Teolog Protestan Karl Barth, dan
sebab itu mereka melihat religio sebagai usaha manusia yang hendak
memaksa Tuhan untuk memberikan sesuatu, lalu manusia menjauhkan diri
lagi.
Sedangkan arti yang pertama, religare,
dipegang oleh gereja Latin (Roma Katolik). Erasmus dari Rotterdam (1469-1539)
menyatakan bahwa paham ini dikaitkan dengan sikap manusia yang benar terhadap
Tuhan. Benar pula, karena ajara-ajaran agama memang mempunyai sifat mengikat
bagi manusia yang mempercayainya. Agama (religio) dalam arti religare
juga berfungsi untuk merekatkan pelbagai unsur dalam memelihara keutuhan
diri manusia, diri orang per orang atau diri sekelompok orang dalam hubungannya
terhadap Tuhan, terhadap sesama manusia, dan terhadap alam sekitarnya.
Sementara Sayyed Hossein Nasr
mengatakan “religare” yang berarti “mengikat” merupakan lawan dari
“membebaskan”. Ajaran Sepuluh Perintah (Ten Commandments) ya ng membentuk
fondasi moralitas Yahudi dan Kristen terdiri dari sejumlah pernyataan
“janganlah kamu”, yang menunjukkan suatu pembatasan dan bukan pembebasan .
Agama juga disebut dengan
istilah din. Dalam bahasa Semit, din berarti undang-undang
atau hokum. Dalam bahasa Arab kata ini mengandung arti menguasai, menundukkan,
patuh, utang, balasan, kebiasaan.
Bila lafal din
disebutkan dalam rangkaian din-ullah, maka dipandang datangnya agama itu
dari Allh, bila disebut dinunnabi dipandang nabilah yang melahirkan dan
menyiarkan, bila disebut dinul-ummah, karena dipandang manusialah yang
diwajibkan memeluk dan menjalankan. Ad-din bisa juga berarti syari’ah:
yaitu nama bagi peraturan-peraturan dan hukum-hukum yang telah disyari’atkan
oleh Allah selengkapnya atau prinsip-prinsipnya saja, dan dibedakan kepada kaum
muslimin untuk melaksanakannya, dalam mengikat hubungan mereka dengan Allah dan
dengan manusia. Ad-din berarti millah, yaitu mengikat.
Maksud agama ialah untuk
mempersatukan segala pemeluk-pemeluknya, dan mengikat mereka dalam suatu ikatan
yang erat sehingga merupakan batu pembangunan, atau mengingat bahwa,
hokum-hukum agama itu dibukukan atau didewankan. Ad-din berarti nasihat,
seperti dalam hadis dari Tamim ad-Dari r.a. bahwa Nabi SAW bersabda: Ad-dinu
nasihah. Para sahabat bertanya: “Ya Rasulullah, bagi siapa?” Beliau
menjelaskan: “Bagi Allah dan kitab-Nya, bagi Rasul-Nya dan bagi para pemimpin
muslimin dan bagi seluruh muslimin.” (HR. Muslim, Abu Dawud, Nasa’i dan Ahmad).
Hadis tersebut memberikan
pengertian bahwa ada lima unsur yang perlu mendapat perhatian bisa
memperoleh gambaran tentang apa yang dimaksud dengan agam yang jelas serta
utuh. Kelima unsure itu adalah: Allah, kitab, rasul, pemimpin dan umat, baik
mengenai arti masing-masing maupun kedudukan serta hubungannya satu denagn
lainnya.
Pengertian tersebut telah
mencakup dalam makna nasihat. Imam Ragib dalam kita Al-Mufradaat fii
Ghariibil Qur’an, dan Imam Nawawi dalam Syarh Arba’in menerangkan
bahwa nasihat itu maknanya sama dengan menjahit (al-khayyaatu an-nasihuu)
yaitu menempatkan serta menghubungkan bagian (unsur) yang satu dengan yang
lainnya, sesuai dengan kedudukan masing-masing.
Mukti Ali mengatakan, agama
adalah percaya pada adanya Tuhan Yang Maha Esa dan hukum-hukum yang diwahyukan
kepada utusanNya bagi kebahagiaan hidup manusia di dunia dan akhirat. Mukti Ali
membatasi pengertian agama pada kepercayaan dan hokum. Mehdi Ha’iri Yazdi
berpendapat, agama adalah kepercayaan kepada Yang Mulak atau Kehendak Mutklak
sebegai kepedulian tertinggi. Pengertian inimenjadikan Tuhan sebagai focus
perhatian dan kepedulian tertinggi agama sehingga agama cenderung mengabaikan
persoalan kemanusiaan. Agama akhirnya bersifat teosentris, tanpa perhatian yang
cukup terhadap soal-soal kemiskinan dan keterbelakangan umat.
Harun Nasution mengemukakan
pelbagai pengertian tentang agama yang dikemukakan sejumlah ahli, yaitu: (1) pengakuan
terhadap adanya hubungan manusia dengan kekuatan gaib yang harus dipatuhi; (2)
pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan kekuatan gaib yang menguasai
manusia; (3) mengikatkan diri pada suatu bentuk hidup yang mengandung
pengakuan pada suatu sumber yang berada di luar manusia dan yang mempengaruhi
perbuatan-perbuatan manusia; (4) kepercayaan pada suatu kekuatan gaib yang
menimbulkan cara hidup tertentu; (5) suatu sistem tingkah laku (code of
conduct) yang berasal dari suatu kekuatan gaib; (6) pengakuan terhadap
adanya kewajiban-kewajiban yang diyakini bersumber pada kekuatan gaib; (7)
pemujaan terhadap kekuatan gaib yang timbul dari \perasaan takut terhadap
kekuatan misterius yang terdapat di alam sekitar manusia; (8) ajaran-ajaran
yang diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui seorang Rasul.
2.
Pengertian Pendidikan Agama
Pendidikan berasal dari
kata didik, yang mengandung arti perbuatan, hal, dan cara.
Pendidikan Agama dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah religion
education, yang diartikan sebagai suatu kegiatan yang bertujuan untuk
menghasilkan orang beragama. Pendidikan agama tidak cukup hanya memberikan
pengetahuan tentang agama saja, tetapi lebih ditekankan pada feeling
attituted, personal ideals, aktivitas kepercayaan.
Dalam bahasa Arab, ada beberapa
istilah yang bisa digunakan dalam pengertian pendidikan, yaitu ta’lim (mengajar), ta’dib (mendidik),
dan tarbiyah (mendidik). Namun menurut al-Attas (1980) dalam
Hasan Langgulung, bahwa kata ta’dib yang lebih tepat digunakan
dalam pendidikan agama Islam, karena tidak terlalu sempit sekedar mengajar
saja, dan tidak terlalu luas, sebagaimana kata terbiyah juga digunakan untuk
hewan dan tumbuh-tumbuhan dengan pengertian memelihara. Dalam perkembangan
selanjutnya, bidang speliasisai dalam ilmu pengetahuan, kata adab dipakai untuk
kesusastraan, dan tarbiyah digunakan dalam pendidikan Islam hingga populer
sampai sekarang. Dengan demikian, Pendidikan Agama Islam di sekolah diarahkan
untuk meningkatkan keyakinan, pemahaman, penghayatan, dan pengamalan ajaran
agama Islam.
Nazarudin Rahman menjelaskan
bahwa ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pembelajaran PAI, yaitu
sebagai berikut:
a) Pendidikan Agama Islam (PAI)
sebagai usaha sadar, yakni suatu kegiatan membimbing, pengajaran atau latihan
yang dilakukan secara berencana dan sadar atas tujuan yang hendak dicapai.
b) Peserta didik harus disiapkan
untuk mencapai tujuan Pendidikan Agama Islam.
c) Pendidik atau Guru Agama Islam
(GPAI) harus disiapkan untuk bisa menjalankan tugasnnya, yakni merencanakan
bimbingan, pangajaran dan pelatihan.
d) Kegiatan pembelajaran PAI
diarahkan untuk meningkatkan keyakinan, pemahaman, penghayatan, dan pengamalan
ajaran agama Islam.
Sebagai salah satu komponen
ilmu pendidikan Islam, metode pembelajaran PAI harus mengandung potensi yang
bersifat mengarahkan materi pelajaran kepada tujuan pendidikan agama Islam yang
hendak dicapai proses pembelajaran.
Dalam konteks tujuan Pendidikan
Agama Islam di sekolah umum, Departemen Pendidikan
Nasional merumuskan sebagai berikut :
a) Menumbuh kembangkan akidah
melalui pemberian, pemupukan, dan pengembangan pengetahuan, penghayatan,
pengamalan, pembiasaan, serta pengalaman peserta didik tentang agama Islam
sehingga menjadi muslim yang terus berkembang keimanan dan ketakwaannya
kepada Allah SWT.
b) Mewujudkan manusia Indonesia
yang taat beragama dan berakhlak mulia yaitu manusia berpengetahuan, rajin
beribadah, cerdas, produktif, jujur, adil, berdisiplin, bertoleran (tasamuh),
menjaga keharmonisan secara personal dan sosial serta mengembangkan budaya
agama dalam komunitas sekolah.
Lebih lanjut, menurut Arifin,
ada tiga aspek nilai yang terkandung dalam tujuan pendidikan Islam yang hendak
direalisasikan melalui metode, yaitu : pertama, membentuk peserta didik menjadi
hamba Allah yang mengabdi kepadaNya semata. Kedua, bernilai edukatif yang
mengacu kepada petunjuk Al-Qur’an dan Al-hadist. Ketiga, berkaitan dengan
motivasi dan kedisiplinan sesuai dengan ajaran al-Qur’an yang disebut pahala
dan siksaan.
Berangkat dari beberapa
penjelasan tersebut, dapat dikemukan bahwa Pendidikan Agama Islam (PAI) adalah usaha
sadar, yakni suatu kegiatan membimbing, pengajaran dan / atau latihan yang
dilakukan guru pendidikan agama Islam secara berencana dan sadar dengan tujuan
agar peserta didik bisa menumbuh kembangkan akidahnya melalui pemberian,
pemupukan, dan pengembangan pengetahuan, penghayatan, pengamalan, pembiasaan,
serta pengalaman peserta didik tentang agama Islam sehingga menjadi muslim yang
terus berkembang keimanan dan ketakwaannya kepada Allah SWT yang pada akhirnya
mewujudkan manusia Indonesia yang taat beragama dan berakhlak mulia.
Agar hal di atas tercapai, maka
guru pendidikan agama Islam dituntut mampu mengembangkan kemampuannya dalam
pembelajaran pendidikan agama Islam, disinilah pentingnya mempelajari metode
pembelajaran pendidikan agama Islam.
3.
Pengertian Pendidikan Keagamaan
Dalam peraturan pemerintah RI
telah dijelaskan mengenai pengertian tentang pendidikan keagamaan yaitu
“pendidikan keagamaan adalah pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk
dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan tentang ajaran
agama dan/atau menjadi ahli ilmu agama dan mengamalkan ajaran agamanya”.
Pendidikan Keagamaan dalam hal ini bermuara dalam
konsep pendidikan Islam adalah memberi pendidikan manusia seutuhnya, akal dan
hatinya, rohani dan jasmaninya, akhlak dan keterampilannya. Karena itu,
pendidikan agama islam menyiapkan manusia untuk hidup baik dalam keadaan damai
maupun perang, dan menyiapkannya untuk menghadapi masyarakat dengan segala
kebaikan dan kejahatannya, manis dan pahitnya.
Pendidikan keagamaan pada anak lebih bersifat
teladan atau peragaan hidup secara riil dan anak belajar dengan cara
meniru-niru, menyesuaikan dan mengintegrasikan diri dalam suatu suasana. Karena
itu, latihan-latihan keagamaan dan pembiasaan itulah yang harus lebih
ditonjolkan, misalnya latihan ibadah shalat, berdoa, membaca al-Qur’an,
menghafal ayat atau surat-surat pendek, shalat berjamaah di masjid dan
mushalla, pembiasaan akhlak dan budi pekerti baik, berpuasa dan sebagainya.
Kandungan yang mendalam dalam
melaksanakan pendidikan keagamaan adalah agar seseorang beriman
dan beribadah sesuai dengan agama Islam. Pendidikan keagamaan pada tahap akhir
adalah sebuah proses pencapaian yang membentuk kepribadian seseorang setelah
melalui tahap mengetahui, berbuat dan mengamalkannya. Kepribadian keagamaan
yang dimaksudkan adalah kepribadian yang sesuai dengan ajaran agama Islam
secara sempurna.
Pendidikan keagamaan pada anak
lebih bersifat teladan atau peragaan hidup secara riil dan anak belajar dengan
cara meniru-niru, menyesuaikan dan mengintegrasikan diri dalam suatu suasana.
Karena itu, latihan-latihan keagamaan dan pembiasaan itulah yang harus lebih
ditonjolkan, misalnya latihan ibadah shalat, berdoa, membaca al-Qur’an,
menghafal ayat atau surat-surat pendek, shalat berjamaah di masjid dan
mushalla, pembiasaan akhlak dan budi pekerti baik, berpuasa dan sebagainya.
Agama merupakan hal yang sangat penting untuk diajarkan sedini mungkin, proses
kepada peserta didik harus diajarkan sejak masa kanak-kanak, sebab pertumbuhan
keagamaan masa kanak-kanak adalah mutu pengalaman yang berlangsung lama dengan
orang-orang dewasa yang berarti penting bagi mereka. pengalaman awal dan
emosional dengan orang tua dan orang dewasa yang berarti merupakan dasar
pembangunan keagamaan dimasa mendatang. mutu afektif hubungan anak dan orang
tua merupakan bobot lebih dan dasar utama sebelum pengajaran secara sadar dan
kognitif yang diberikan setelahnya.
C. Hubungan Antara Moral , Nilai,
Dan Sikap
Nilai merupakan tatanan tertentu atau kriteria didalam
diri individu yang dijadikan dasar untuk mengevaluasi suatu sistem.
Pertimbangan nilai adalah penilaian individu terhadap suatu objek atau
sekumpulan objek yang lebih berdasarkan pada sistem nilai tertentu daripada
hanya sekedar karakteristik objek tersebut.
Moral merupakan tatanan prilaku
yang memuat nilai-nilai tertentu untuk dilakukan individu dalam hubungannya
dengan individu, kelompok, atau masyarakat. Moralitas merupakan pencerminan
dari nilai-nilai idealitas seseorang (Rogers, 1985). Dalam moralitas terkandung
aspek-aspek kognitif, afektif, dan prilaku ( Saffer, 1979).
Adapun sikap merupakan
predisposisi tingkah laku atau kecendrungan untuk bertingkah laku yang
sebenarnya juga merupakan ekspresi atau manifestasi dari pandangan individu
terhadap suatu objek atau sekumpulan objek. Sikap merupakan sistem yang
bersifat menetap dari komponen kognisi, afeksi, dan konasi (Krech,1973).
Perubahan pengetahuan individu tentang suatu objek atau sekumpulan objek akan
menimbulkan perubahan perasaan individu yang bersangkutan mengenai objek atau
sekumpulan objek tersebut dan selanjutnya akan memengaruhi kecendrungannya
untuk bertindak terhadap objek atau sekumpulan objek tersebut.
Dengan demkian, dapat ditarik benang merah
bahwa nilai merupakan dasar petimbangan bagi individu untuk melakukan sesuatu, moral merupakan
perilaku yang seharusnya dilakukan atau dihindari, sedangkan sikap merupakan
predisposisi atau kecendrungan individu untuk merespons terhadap suatu objek
atau sekumpulan objek sebagai perwujudan dari sitem nilai dan moral yang ada
didalam dirinya. Sistem nilai mengarahkan pada pembentukan nilai-nilai moral
tertentu yang selanjutnya akan menentukan sikap individu sehubungan dengan
objek nilai dan moral tersebut. Dengan sistem nilai yang dimiliki, individu
akan menentukan perilaku mana yang harus dilakukan dan yang harus dihindarkan,
ini akan tampak dalam sikap dan perilaku nyata sebagai perwujudan dari sitem
nilai dan moral yang mendasarinya.
Bagi Sigmund Freud (Corey,
1989), yang telah menjelaskan melalui teori Psikoanalisinya, antara nilai,
moral, dan sikap adalah satu kesatuan dan tidak dibeda-bedakan. Nilai dan moral
itu menyatu dalam salah satu struktur kepribadiannya, yang dikenal dengan super ego atau das uber ich yang merupakan sumber moral. Dalam konsep Sigmand
Freud, struktur kepribadian manusia itu terdiri dari tiga, yaitu :
1. Id atau Das Es,
2. Ego atau Das Ich, dan
3. Super Ego atau Das Uber Ich.
Id berisi dorongan naluriah, tidak rasional, tidak logis, tak sadar, amoral,
dan bersifat memenuhi dorongan kesengangan yang diarahkan untuk mengurangi
ketegangan atau kecemasan dan menghindari kesakitan. Id merupakan kepribadian yang orisinil. Kepribadian setiap manusia
ketika lahir hanya terdiri dari id. Ego merupakan eksekutif dari kepribadian
yang memerintah, mengendalikan, dan mengatur kepribadian individu. Tugas utama ego adalah mengantar dorongan-dorongan
naluriah dengan kenyataan yang ada didunai sekitar. Super ego adalah kode moral individu yang tugas utamanya adalah
mempertimbangkan apakah suatu tindakan baik atau buruk, benar atau salah. Super ego mempresentasikan hal-hal yang
ideal bukan hal-hal yang riil, serta mendorong ke arah kesempurnaan bukan
kesenangan.
Dalam konteksnya hubungan
antara nilai, moral dan sikap adalah jika ketiganya sudah menyatu dalam super ego dan seseorang yang telah mampu
mengembangkan super ego nya dengan
baik, sikapnya akan cendrung didasarkan atas nilai-nilai luhur dan aturan moral
tertentu sehingga akan terwujud dalam perilaku yang bermoral. Ini dapat terjadi
karena super ego yang sudah
berkembang dengan baik dapat mengontrol dorongan-dorongan naluriah dari id yang bertujuan untuk memenuhi
kesenangan dan kepuasan. Berkembangnya super
ego dengan baik, juga akan mendorong berkembang kekuatan ego untuk mengatur dinamika kepribadian
antara id dan super ego, sehingga perbuatannya selaras
dengan kenyataan didunia sekelilingnya.
REFERENSI
Rahman, Nazarudin. 2009. Manajemen
Pembelajaran ; Implementasi Konsep, Karakteristik dan Metodologi Pendidikan
Agama Islam di Sekolah Umum, Cet I. Yogyakarta: Pustaka Felicha.
li,
Mohammad dan Asrori, Muhammad, 2006, Psikologi Remaja, Jakarta:PT Bumi
Aksara.Panuju, Panut dan Umami, Ida, 1999, Psikologi Remaja, Yogyakarta: PT Tiara Wacana.
Setyoningtyas, Emila, Kamus Trendy Bahasa Indonesia, Surabaya: Apollo.
Kamarudin, Rahmat. Pengertian
Agama. 31 Maret 2015.http://penaraka.blogspot.com/2012/04/
pengertian-agama.html
Lubis, Ibrahim. Pendidikan Keagamaan.
31 Maret 2015. http://www.anekamakalah.com/2013/ 04/ pendidikan-keagamaan.html
http://www.e-jurnal.com/2013/12/pengertian-moral-menurut-para-ahli.html
http://vivienanjadi.blogspot.com/2012/05/hubungan-antara-moral-nilai-dan-sikap.html

Comments
Post a Comment